Hubungan Polusi dan Alergi
Polusi adalah asap atau gas yang berbahaya atau beracun. Polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil dapat menyebabkan penderita alergi menjadi lebih sensitif terhadap alergi dan memperparah gejalanya. Polutan yang menempel pada penyebab alergi, bisa membuat reaksi alergi menjadi semakin buruk.
Polusi Luar Ruangan dan Dalam Ruangan
Polusi udara di luar ruangan berdampak besar pada kesehatan, karena tingkat kualitas udara di lebih dari 90 persen negara di dunia melebihi batas yang telah ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mendapatkan paparan polusi tertinggi.
Rata-rata, orang Amerika menghabiskan sekitar 22 jam setiap harinya di dalam ruangan, sehingga mereka lebih rentan terhadap risiko dampak kesehatan yang merugikan akibat paparan polusi udara dalam ruangan dari waktu ke waktu.
Polutan yang Umum
Polusi partikulat mengacu pada pecahan kecil berbentuk padat atau tetesan cairan di udara. Pembuangan bahan bakar diesel berkontribusi terhadap peningkatan alergi dari sumber polusi partikulat terbesar ini.
Asap tembakau menghasilkan bahan kimia yang menempel pada penyebab alergi, seperti serbuk sari, bulu dan debu, sehingga memicu reaksi alergi.
Sulfur dioksida merupakan gas tidak berwarna dengan bau menyengat yang terbentuk saat batu bara atau minyak dibakar. Gas ini dapat menyebabkan peradangan dan masalah pernapasan.
Nitrogen oksida adalah gas yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil. Paparan gas ini dapat menyebabkan iritasi mata dan kulit, serta asma dan masalah pernapasan.
Perubahan Iklim dan Alergi
Menurut Yayasan Asma dan Alergi Amerika (AAFA), kenaikan suhu menyebabkan musim serbuk sari berlangsung 11 hingga 27 hari lebih lama, sehingga menciptakan lebih banyak serbuk sari di udara dan lebih banyak gejala alergi.
Rekomendasi Perawatan
- Ada beberapa cara yang dapat Anda lakukan untuk melindungi diri dari dampak polusi yang berbahaya pada alergi Anda.
- Periksa indeks kualitas udara harian di daerah Anda. Tetaplah di dalam ruangan jika indeksnya berwarna oranye.
- Gunakan masker di luar ruangan saat alergi Anda parah, dan indeks kualitas udaranya buruk.
- Dukung upaya penanaman pohon non-alergenik di daerah perkotaan.
- Kurangi aktivitas di luar ruangan selama musim serbuk sari.
- Tahan keinginan untuk membuka jendela rumah Anda.
- Gunakan pembersih udara dan filter udara bermutu tinggi yang dapat membasmi partikel polutan di udara.
- Konsultasikan dengan dokter jika gejala alergi Anda semakin parah.
- Saat Anda mengalami gejala alergi, pastikan Anda minum obat alergi, seperti Claritin®. Produk Claritin® tersedia dalam dosis 24 jam yang dapat meredakan gejala alergi pada siang dan malam hari.
REFERENCES
- Air Pollution in Relation to Allergic Nonallergic Rhinitis
- Allergic diseases and air pollution. Asia Pacific Allergy. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Air Pollution and Allergies: A Connection? MedicineNet. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Air Pollution and Allergies: A Connection? MedicineNet. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Smog: Not an allergan, but an irritant. WebMD. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Get air quality data where you live. Airnow.gov. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Particulate Matter (PM) Basics. Environmental Protection Agency. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Ground-level Ozone Pollution. Environmental Protection Agency. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Sulfur dioxide. Queensland Government. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Traffic Air Pollution Increases Allergy and Reduces Lung Health. American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. Diakses pada 25 Maret 2020.
- Traffic Air Pollution Increases Allergy and Reduces Lung Health. American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. Diakses pada 25 Maret 2020.
- What are Nitrogen Oxides? Tox Town. National Institutes of Health U.S. National Library of Medicine. Diakses pada 25 Maret 2020.
- WHO releases country estimates on air pollution exposure and health impact. World Health Organization. Diakses pada 23 Juni 2020.
- Air Pollution and Allergies: A Connection? MedicineNet. Diakses pada 23 Juni 2020.
- Bernstein et al., Journal of Allergy Clinical Immunology. March 2008, 586-591.